Mengatasi metana tambang batubara Indonesia

Kebocoran metana dari tambang batubara Indonesia diperkirakan menyebabkan kerusakan iklim jangka pendek sebesar dua kali lipat emisi CO2 Jakarta.

Conal Campbell

25 February 2022| 2 menit baca

Tersedia dalam:   English


Kebocoran metana dari tambang batubara Indonesia diperkirakan menyebabkan kerusakan iklim jangka pendek sebesar dua kali lipat emisi CO2 Jakarta

Penulis: Conal Campbell dan Achmed Shahram Edianto

Indonesia merupakan salah satu penandatangan Prakarsa Metana Global (Global Methane Pledge) pada Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (COP26) di Glasgow tahun lalu. Prakarsa ini ditandatangani oleh 111 negara yang mewakili lebih dari 70% ekonomi global dan hampir setengah dari semua emisi metana antropogenik.

Pendekatan Indonesia terhadap industri pertambangan batubara akan sangat penting dalam memenuhi komitmennya sebagai bagian dari kesepakatan tersebut. Hal ini akan membutuhkan investasi dalam pemantauan, pelaporan dan verifikasi metana, mencegah penambangan lapisan batubara yang paling banyak mengandung metana, dan memanfaatkan atau menghancurkan metana di tambang-tambang yang belum berhenti beroperasi. Permintaan terhadap batubara Indonesia kemungkinan akan mulai turun sebelum tahun 2030, sehingga upaya untuk mengakhiri industri yang sangat berpolusi ini harus mencapai tingkat urgensi yang baru.

Emisi metana tambang batubara Indonesia: hampir dua kali lipat emisi CO2 Jakarta


Metana diperkirakan 86 kali lebih merusak lingkungan daripada karbon dioksida (CO2). Selama COP26, organisasi think tank di bidang iklim dan energi, EMBER, merilis sebuah blog yang menjelaskan mengapa dunia harus segera beraksi untuk mengatasi metana tambang batubara. Blog ini menunjukkan bahwa metana tambang batubara memiliki dampak iklim jangka pendek yang lebih besar daripada semua emisi CO2 Eropa.

Tambang batubara Indonesia menghasilkan 1,18 juta ton metana, yang setara dengan 101 juta ton CO2 menurut International Energy Agency (IEA). Jumlah ini hampir dua kali lipat emisi CO2 Jakarta, yang berarti dua kali lipat kerusakan lingkungan global. Yang terpenting, perkiraan metana ini hampir pasti merupakan perkiraan yang terlalu rendah, mengingat jumlah tersebut berasal dari penelitian meja (desk study) menggunakan penilaian mandiri negara dan perusahaan. Laboratorium Nasional Pacific Northwest Departemen Energi AS memperkirakan emisi metana tambang batubara bisa sepertiga lebih tinggi dari perkiraan IEA.

Meskipun kebocoran metana dari industri minyak dan gas terus-menerus diliput, kebocoran metana dari industri pertambangan batubara pun sebesar kedua industri tersebut. Indonesia telah menjadi net importir minyak selama 20 tahun terakhir, dan menjadi eksportir  gas moderat. Namun tren utama baru-baru ini di sektor energi Indonesia adalah pertumbuhan eksponensial produksi dan ekspor batubara.

Produksi batubara Indonesia meningkat lebih dari dua kali lipat dalam 10 tahun hingga 2019, mencapai 616 juta ton. Produksi batubara Indonesia kini melebihi Amerika Serikat atau Australia. Sebagian besar produksi batubara ini berasal dari tambang terbuka, bukan tambang bawah tanah. Namun, seiring berjalannya waktu dan deposit permukaan habis, praktik penambangan bawah tanah meningkat (misalnya lokasi tambang PT Gerbang Daya Mandiri di Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur yang dimulai sebagai tambang permukaan tetapi dipindahkan operasinya ke bawah tanah menurut Prakarsa Metana Global). Tren ini sejalan dengan proyeksi Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (PERHAPI) yang memperkirakan tambang bawah tanah akan mulai berkembang seiring dengan kenaikan biaya produksi tambang permukaan.

Produksi batubara Indonesia meningkat 7,2% pada 2021

Kedalaman penambangan batubara sangat mempengaruhi emisi metana. Sebagai aturan praktis, semakin dalam tambang, semakin banyak metana yang ditemukan. Satu ton batubara yang dihasilkan dari tambang kaya metana mengeluarkan lebih dari sepuluh kali polutan super ini dibandingkan dengan kebanyakan tambang batubara.

6 langkah mengatasi metana tambang batubara di Indonesia


Prakarsa Metana Global meminta negara-negara untuk mengurangi emisi metana antropogenik minimal sebesar 30% pada tahun 2030. Sebagai Presiden dari platform multilateral G20 yang menghubungkan negara-negara maju dan berkembang di dunia, Indonesia dapat memainkan peran utama dalam isu internasional yang penting ini, yang telah menjadi fokus Presiden AS Joe Biden, para pemimpin Eropa, dan para pemimpin negara lainnya.

Bahkan jika Indonesia menutup tambang batubara, metana dapat terus bocor dari tambang yang “terbengkalai” selama bertahun-tahun dan ini membutuhkan pengelolaan yang hati-hati. Masalah ini bisa diperparah dengan pasal baru yang dimuat dalam Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba), yang memunculkan kekhawatiran tentang kewajiban pemulihan pascatambang dan proses reklamasi.

Menutup tambang dengan benar dapat mengurangi emisi metana dan memastikan bahwa tambang tidak mencemari air tanah setempat dan menyebabkan penurunan permukaan tanah di area pertambangan yang berpenduduk. Penggenangan area dengan air (flooding) selama ini merupakan pendekatan global yang banyak digunakan untuk pengelolaan metana di tambang yang terbengkalai. Namun, kesesuaian metode ini tergantung pada sistem air setempat.

Ada pembelajaran bisnis yang menguntungkan untuk memulihkan dan menggunakan sebagian besar emisi metana. Metana, tidak seperti karbon dioksida, dapat ditangkap dan digunakan untuk menghasilkan panas dan listrik yang bermanfaat. Hal ini juga dapat membantu memberikan investasi baru kepada masyarakat penghasil batubara.

Membatasi metana tambang batubara adalah salah satu solusi termudah untuk memberikan dampak iklim positif secara langsung. Berikut, EMBER menjabarkan enam langkah yang dapat diambil Indonesia dan negara lain untuk mengurangi emisi metana tambang batubara: 1) Memahami skala masalah, 2) Mempercepat penyebaran clean electricity Indonesia untuk mengurangi ketergantungan terhadap batubara, 3) Fokus untuk menutup tambang-tambang beremisi tertinggi terlebih dahulu, 4) Berinvestasi untuk mengurangi emisi di tambang dengan intensitas emisi yang tinggi, 5) Meneliti izin tambang batubara baru terhadap risiko kebocoran metana, dan 6) Mengelola metana dari tambang yang ditinggalkan.

Kebocoran metana dari tambang batubara adalah pengganda krisis iklim yang jarang dibicarakan orang. Perhitungan IEA memperlihatkan bahwa metana tambang batubara berdampak lebih besar pada perubahan iklim daripada gabungan emisi dari pelayaran dan penerbangan. Analisis EMBER juga menunjukkan dampak iklim jangka pendek yang lebih besar. Indonesia, sebagai negara adidaya batubara dan pemimpin G20, memiliki tanggung jawab untuk menunjukkan kepemimpinan iklim terhadap sumber emisi gas rumah kaca yang sesungguhnya tidak sulit ditangani.

Materi Pendukung