JETP

JETP dan refleksi ambisi transisi sektor ketenagalistrikan Indonesia

Perlu persyaratan yang lebih spesifik untuk mempercepat pensiun dini batu bara, menyediakan ruang untuk energi terbarukan, dan menyelaraskan dengan 1,5C.

Dr Achmed Shahram Edianto

Asia Electricity Analyst

26 January 2023 | 6 menit baca

Tersedia dalam:   English


Kesepakatan Kemitraan Transisi Energi Berkeadilan (JETP) mengharuskan Indonesia untuk membatasi emisi sektor ketenagalistrikan sebesar 290 million tonnes (Mt) pada tahun 2030, tetapi persyaratan yang lebih spesifik diperlukan untuk mempercepat pensiun dini batu bara dan memberi ruang untuk energi terbarukan.

  • 01


    Diperlukan perincian peta jalan rencana pensiun dini PLTU

    JETP menekankan pada penghentian rencana pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis batu bara on-grid, yang tertera dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2021-2030. Namun, tidak ada persyaratan untuk menghentikan PLTU yang sedang dalam proses konstruksi, baik di sektor listrik maupun pembangkit captive.

  • 02


    Batas emisi JETP untuk sektor ketenagalistrikan tidak selaras dengan target iklim 1,5C

    Batas emisi JETP sebesar 290 Mt CO2 secara luas konsisten dengan “skenario komitmen pemerintah” yang dianalisis dalam laporan IEA terkini. Skenario tersebut sejalan dengan target pemerintah untuk mencapai Emisi Nol Bersih untuk semua sektor pada tahun 2060, bukan target mitigasi 1,5C.

  • 03


    Produksi listrik PLTU perlu dikurangi secara substansial pada tahun 2030

    Agar Indonesia sejalan dengan target 1,5C, produksi pembangkit listrik tenaga batu bara harus dikurangi secara substansial pada tahun 2030. Hal ini dapat dicapai melalui penutupan beberapa pembangkit listrik tenaga batu bara yang beroperasi, dan pengurangan produksi pembangkit listrik tenaga batu bara secara signifikan yang diiringi dengan penggunaan energi terbarukan secara masif.

  • 04


    Perlu penyelarasan rencana transisi ketenagalistrikan Indonesia dengan target iklim global 1,5C

    Indonesia harus memanfaatkan momentum dan dukungan finansial dari kesepakatan JETP untuk membantu mengkonfigurasi ulang jalur transisinya agar selaras dengan target iklim global 1,5C.

Kesepakatan JETP perlu dirinci lebih lanjut untuk memberikan beberapa pilihan bagi Indonesia. Kesepakatan ini juga harus menyediakan opsi untuk pemensiunan dini PLTU dan penurunan faktor kapasitas operasional PLTU. Perlu juga adanya target untuk mempercepat penggunaan energi terbarukan, untuk memperlihatkan bahwa dukungan internasional berperan penting dalam mendorong Indonesia ke jalur transisi yang sesuai target iklim 1,5C.

Dr Achmed Shahram Edianto Analis ketenagalistrikan Asia, Ember

Pada pertemuan G20 yang lalu, Indonesia mendapatkan komitmen pendanaan transisi energi yang berasal dari Just Energy Transition Partnership (JETP) sebesar USD 20 miliar. Dipimpin oleh Amerika Serikat dan Jepang, negara-negara maju yang tergabung dalam the International Partners Group (IPG) sepakat untuk membantu Indonesia mencapai Emisi Nol Bersih. Setidaknya, dana ini akan digunakan oleh Pemerintah Indonesia untuk mempercepat pembangunan energi terbarukan, pensiun dini PLTU dan membantu masyarakat yang terdampak oleh transisi, khususnya pada sektor batu bara. 

Sebagai bagian dari kesepakatan ini, Indonesia harus membatasi emisi karbon (CO2) tahunan sektor ketenagalistrikan sebesar 290 Mt pada tahun 2030. Kesepakatan JETP menekankan pada penghentian rencana PLTU on-grid yang tertera dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2021-2030, menegaskan kembali moratorium pada setiap PLTU on-grid baru, sesuai dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 Tahun 2022 tentang percepatan pengembangan energi terbarukan untuk penyediaan tenaga listrik, dan juga target energi terbarukan yang harus mencapai minimal 34% dari total pembangkitan pada tahun 2030.

Namun, tidak ada persyaratan khusus dalam kesepakatan JETP untuk pembangunan PLTU yang sedang dibangun. Jadi, bagaimana perjanjian ini bisa menghasilkan 290 Mt batas emisi CO2? Apa artinya bagi PLTU dan apa implikasinya terhadap target perubahan iklim Indonesia?

Membedah syarat emisi JETP

Batas emisi JETP sebesar 290 Mt CO2 secara umum konsisten dengan Announced Pledge Scenario  atau skenario “komitmen pemerintah” yang dianalisis dalam laporan IEA terkini – An Energy Sector Roadmap to Net Zero Emissions in Indonesia – yang sejalan dengan target pemerintah untuk mencapai Emisi Nol Bersih di semua sektor pada tahun 2060.

Dalam skenario ini, kapasitas pembangkit listrik tenaga batu bara diproyeksikan tumbuh dari 35 GW pada tahun 2021 menjadi sekitar 45 GW pada tahun 2030. Peningkatan ini termasuk 14 GW PLTU yang sedang dibangun dan akan beroperasi antara tahun 2021 hingga 2030, yang akan menghasilkan total kapasitas PLTU hingga 50 GW pada tahun 2030. Adanya perbedaan sebesar 5 GW tersebut berasal dari asumsi pemerintah untuk mempensiunkan sekitar 5 GW kapasitas batu bara antara tahun 2021 hingga 2030.

Selanjutnya, meskipun kesepakatan JETP juga menyatakan bahwa Indonesia perlu membatasi pengembangan pembangkit listrik captive tenaga batu bara, menemukan dan menerapkan potensi zero emissions dan solusi terbarukan untuk fasilitas pembangkit listrik di luar Jawa-Bali, termasuk pembangkit listrik captive, pembatasan tersebut sudah sesuai dengan yang tertera pada Perpres 112/2022.

Menurut Perpres tersebut, pemerintah tetap mengizinkan pembangunan PLTU captive sepanjang terintegrasi dengan industri yang meningkatkan nilai tambah sumber daya alam atau masuk dalam Proyek Strategis Nasional Indonesia yang berkontribusi besar terhadap penciptaan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi nasional.

Hingga saat ini, Indonesia memiliki total 5 GW PLTU captive yang beroperasi pada tahun 2021, dengan 4 GW dalam proses pembangunan, menurut Global Energy Monitor. PLTU captive ini tampaknya tidak termasuk dalam batas emisi 290 Mt dan tidak memiliki batasan khusus lainnya dalam perjanjian JETP.

Jika asumsi ini benar, maka JETP Indonesia tidak memiliki persyaratan khusus untuk penghentian PLTU di luar dari yang sudah direncanakan pemerintah, baik di sektor ketenagalistrikan maupun untuk pembangkit captive. Dengan kata lain, JETP masih memungkinkan sumber energi dengan emisi tertinggi – PLTU – untuk tetap bertumbuh dalam beberapa tahun ke depan.

Mampukah JETP membawa Indonesia ke jalur 1,5C?

Negara berkembang mengharapkan JETP untuk membantu mereka mempercepat proses transisi yang berkeadilan. Sementara itu, negara berkembang juga membutuhkan dukungan untuk menyelaraskan target nasionalnya dengan target global untuk membatasi kenaikan suhu hingga 1,5C. 

Namun, di Indonesia, JETP cenderung bertujuan untuk membantu Indonesia mencapai target Emisi Nol Bersih 2060 di semua sektor, di mana sektor ketenagalistrikan diharapkan mencapai Emisi Nol Bersih pada tahun 2050. 

Agar sesuai dengan skenario 1,5C IEA, sektor ketenagalistrikan seharusnya mencapai Emisi Nol Bersih pada tahun 2040. Selanjutnya, untuk diselaraskan dengan jalur 1,5C, emisi batu bara perlu diturunkan secara signifikan pada tahun 2030. 

Pertanyaannya adalah, apakah mungkin untuk menyelaraskan dengan target 1,5C? Yang paling penting, tindakan tambahan apa yang diperlukan untuk menempatkan sektor ketenagalistrikan di jalur 1,5C?

Mencapai target 1,5C

Secara teknis sangat memungkinkan untuk menyelaraskan target transisi energi Indonesia dengan target iklim 1,5C, khususnya di sektor ketenagalistrikan. Untuk mencapai target 1,5C, skenario IEA merekomendasikan bahwa semua proyek PLTU yang sedang dibangun harus diselesaikan pada tahun 2024, dan beberapa pembangkit yang direncanakan untuk dibangun namun belum memasuki masa konstruksi harus dibatalkan. Kapasitas terpasang PLTU perlu dikurangi 10% dan produksi listrik dari PLTU yang masih beroperasi pada tahun 2030 harus turun 70%, jika dibandingkan dengan skenario JETP. 

Artinya, dari segi kapasitas pembangkit, Indonesia harus mempensiunkan sekitar 9 GW PLTU pada tahun 2030, karena masih ada proyek-proyek pembangkit baru yang akan selesai dibangun dan mulai beroperasi antara saat ini hingga tahun 2030. Dalam jangka panjang, produksi listrik dari PLTU yang tidak menggunakan teknologi Carbon, Capture, Utilisation and Storage (CCUS) hanya akan turun 8% dari tahun 2021 ke 2040 (dari sekitar 190 TWh menjadi 175 TWh) dalam skenario JETP. Sedangkan untuk mencapai target 1,5C, produksi listrik dari PLTU yang tidak menggunakan teknologi CCUS harus turun mencapai hampir 100% (0 TWh) pada tahun 2040.

Sementara itu, analisis University of Maryland dan Institute for Essential Services Reform (IESR) menunjukkan bahwa Indonesia harus menghentikan sekitar 9,2 GW pembangkit listrik tenaga batu bara pada tahun 2030, angka yang hampir sama dengan jalur 1,5C yang dihasilkan oleh analisis IEA.

Untuk menempatkan Indonesia pada jalur iklim 1,5C, produksi PLTU harus dikurangi secara substansial pada tahun 2030, dengan menutup beberapa PLTU yang beroperasi, dan secara signifikan mengurangi produksi listrik PLTU. 

Selain itu, pangsa energi terbarukan harus meningkat secara signifikan untuk menggantikan PLTU. Skenario IEA 1,5C menyarankan bahwa pangsa energi terbarukan harus mencapai sekitar 60% dari total pembangkitan pada tahun 2030, lebih tinggi dari persyaratan JETP dan skenario IEA berdasarkan “komitmen pemerintah” yang hanya menargetkan 35%.

Manfaat transisi energi yang selaras dengan target iklim 1,5C

Studi-studi di atas juga menyoroti manfaat transisi energi bagi Indonesia, jika selaras dengan target 1,5C. Skenario 1,5C dari IEA menunjukkan bahwa meskipun biaya sistem energi lebih tinggi pada tahun 2030 dibandingkan dengan skenario “komitmen pemerintah”, kebutuhan investasi akan turun dalam skenario 1,5C dalam jangka panjang, sementara konsumen listrik akan lebih banyak mengalami penghematan biaya konsumsi listrik. Pada tahun 2050, biaya seluruh sistem energi skenario 1,5C akan lebih murah daripada skenario lainnya. Dalam skenario ini, sektor ketenagalistrikan Indonesia akan 100% bebas emisi pada tahun 2040, yang pada gilirannya akan mempercepat target Emisi Nol Bersih di semua sektor pada tahun 2050, 10 tahun lebih cepat dari target pemerintah.

University of Maryland dan IESR juga menyebutkan bahwa percepatan transisi dari batu bara ke energi bersih yang sejalan dengan 1,5C akan bermanfaat secara ekonomi dan sosial. Manfaat yang diperoleh dari pengalihan subsidi batu bara dan kemampuan menghindari dampak negatif kesehatan dari PLTU mencapai dua hingga empat kali lebih besar dari biaya aset yang terdampar (stranded asset), biaya penonaktifan PLTU, biaya transisi ketenagakerjaan dan hilangnya pendapatan pemerintah dari sektor batu bara.

Mengharapkan jalur transisi yang lebih baik bagi Indonesia


Announced Pledge Scenario yang digunakan oleh IEA memberikan informasi yang memadai untuk memahami persyaratan batas emisi JETP untuk sektor ketenagalistrikan Indonesia. Namun, skenario ini sejalan dengan target Emisi Nol Bersih di sektor ketenagalistrikan pada tahun 2050, yang tidak sesuai dengan target global 1,5C. 

Pemerintah dapat mempertimbangkan tiga rekomendasi untuk diskusi JETP yang sedang berlangsung, untuk memitigasi dampak terburuk perubahan iklim dengan langkah-langkah penurunan emisi yang ketat dan membuka pilihan jalur yang lebih baik untuk transisi energi Indonesia.

Pertama, batas emisi JETP menekankan tidak ada PLTU baru di luar pembangkit yang sedang dalam proses pembangunan. Jika pemerintah tetap membangun PLTU yang kini masuk dalam rencana pengembangan – tetapi belum mulai proses konstruksi – di mana PLTU baru ini akan beroperasi pada tahun 2030, maka kapasitas PLTU akan bertambah sebesar 7 GW, yang setara dengan sekitar 38 Mt CO2. Hal ini perlu dikompensasi dengan penghentian  PLTU yang ada, dengan jumlah kapasitas yang lebih besar (di luar 5 GW yang direncanakan pemerintah), atau menurunkan produksi listrik PLTU yang masih beroperasi, atau kombinasi keduanya, agar tetap berada di bawah batas emisi. Selain itu, percepatan pengembangan energi terbarukan juga diperlukan untuk menggantikan PLTU dalam sistem ketenagalistrikan Indonesia.

Kedua, JETP harus secara jelas menentukan batas emisi sektor ketenagalistrikan. Penurunan bertahap penggunaan batu bara sebagai bagian dari transisi energi tidak terbatas pada sektor ketenagalistrikan saja. Kesenjangan dalam menangani PLTU captive juga harus dianggap sebagai ancaman bagi target penurunan emisi Indonesia. Total emisi dari PLTU captive yang ada dan yang sedang dalam proses pembangunan dapat mencapai hampir 50 Mt CO2 pada tahun 2030, 17% dari total batas emisi sektor ketenagalistrikan sebesar 290 Mt. JETP memang membatasi emisi sektor ketenagalistrikan dan menyatakan pembatasan PLTU captive. Namun, kesepakatan ini tidak mengetatkan persyaratan emisi PLTU captive. Oleh karena itu, persyaratan tambahan untuk mengurangi emisi batu bara harus ada, sebagai bagian dari kesepakatan JETP Indonesia.

Terakhir, memanfaatkan dukungan finansial adalah kunci untuk mempercepat transisi energi. Seperti yang disebutkan oleh Menteri Keuangan pada COP 26, Indonesia dapat mempercepat target untuk sepenuhnya menghentikan PLTU pada tahun 2040, target yang selaras dengan 1,5C, jika tersedia dukungan pendanaan yang memadai dari masyarakat internasional. Dengan adanya JETP, negara harus menerjemahkan komitmennya ke dalam tindakan yang terukur, menunjukkan bahwa transisi energi Indonesia dapat bergerak lebih cepat dan sejalan dengan target iklim global, 1,5C.

Materi Pendukung