Bagaimana Indonesia dapat mempercepat transisi energi di G20

Timun Mas dan G20: 'kekuatan' saja tidak akan cukup

Dave Jones

Head of Data Insights

Ember

31 January 2022 | 2 menit baca

Tersedia dalam:   English


Timun Mas dan G20: Kearifan lokal khas Indonesia dibutuhkan untuk mempercepat Transisi Energi Berkelanjutan

Penulis: Dave Jones dan Camilla Fenning dari E3G

Sebagai tuan rumah konferensi G20 tahun ini, Indonesia memiliki kesempatan unik untuk membangun momentum internasional menuju masa depan energi yang berkelanjutan, dan mengukir langkah-langkah penting untuk mempercepat peralihan dari pembangkit listrik tenaga batubara, sambil tetap memprioritaskan pembangunan ekonomi berkelanjutan.

Menanggapi tantangan COVID-19, pemanasan global, dan krisis energi dunia, banyak mata akan tertuju kepada G20, menanti sinyal yang jelas bahwa negara-negara ekonomi terbesar dunia siap untuk berinvestasi dalam solusi lintas sektoral yang dapat menanggulangi dampak pemanasan global dan mempercepat pemulihan ekonomi.

Janji iklim


Tahun lalu, G7 mengambil langkah penting, yaitu mengakhiri dukungan pemerintah untuk pembangkit listrik tenaga batubara pada akhir tahun 2021. Langkah ini ditindaklanjuti di G20 pada tahun 2021, di mana negara-negara terkuat di dunia berjanji untuk berhenti membiayai pembangkit listrik tenaga batubara di luar negeri.

Sejak itu, negara-negara G20 telah membuat komitmen net-zero emission (emisi nol) termasuk Rusia, Arab Saudi, dan Indonesia. Bahkan, Argentina sekarang adalah satu-satunya negara G20 yang belum berjanji emisi nol. Ada kemajuan di G20, tetapi kemajuan ini harus berjalan lebih cepat jika dunia ingin memastikan kenaikan suhu global yang tak lebih dari 1,5 derajat.

Segera setelah berkomitmen, Indonesia memberi banyak harapan pada COP26, saat Indonesia menandatangani Pernyataan Transisi Tenaga Batubara Global ke Energi Bersih dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyoroti kemungkinan penghentian penggunaan batubara pada tahun 2040, dengan dukungan internasional.

Pada COP 26, Indonesia selanjutnya berkomitmen untuk secara bertahap mengurangi pembangkit listrik tenaga batubara, dan menghapus subsidi bahan bakar fosil yang tidak efisien. Tidak heran jika banyak analis energi semakin bersemangat ketika Indonesia menandatangani Pernyataan Transisi Tenaga Batubara Global ke Energi Bersih tersebut.

Selama 20 tahun terakhir, sektor publik dan swasta di Indonesia telah berjuang sangat keras untuk memperluas akses listrik bagi puluhan juta masyarakat Indonesia. Pemenuhan permintaan listrik yang meningkat di sektor transportasi dan industri akan tetap menjadi tantangan utama bagi pemerintah, tetapi peningkatan pesat listrik bersih adalah pertahanan terbaik terhadap tantangan ketahanan energi, baik untuk Indonesia maupun seluruh dunia.

Kearifan lokal khas Indonesia dibutuhkan di G20


Tahun ini, banyak negara juga akan melihat apakah Indonesia bersedia memperbarui rencana iklim nasionalnya, sejalan dengan komitmen yang dibuat di Glasgow tahun lalu. Di sana, pembuat kebijakan Indonesia memiliki kesempatan untuk menetapkan jalur transisi nasional yang adil untuk mengakhiri batubara, dengan menyoroti dukungan yang dibutuhkan untuk meningkatkan energi bersih.

Pesan ini perlu disampaikan dengan jelas kepada seluruh G20 tentang perlunya mengoperasionalkan serangkaian komitmen kuat yang dibuat pada tahun 2021 lalu.

Di puncak transisi energi global, Indonesia memiliki peran yang sangat penting dalam upaya mendorong G20 untuk mendukung dan mempercepat transisi ini. Sebagai Presiden G20, upaya diplomatik dan domestik Indonesia untuk mempercepat transisi harus berjalan beriringan.

Sebagai tuan rumah G7 tahun ini, Jerman telah berkomitmen untuk menggunakan kepresidenannya untuk mendukung negara berkembang dalam melakukan transisi dari batubara, minyak, dan gas, menuju energi terbarukan. Yang juga penting, Jerman mendukung misi ini dengan tujuan domestiknya yang baru diperbarui untuk menghapus batubara secara bertahap pada tahun 2030.

Indonesia dapat bekerja secara kolaboratif dengan Jerman untuk memastikan bahwa G7 tidak hanya menyelaraskan prioritasnya dengan G20, tetapi juga berkomitmen kepada negara-negara ekonomi terbesar di dunia untuk berinvestasi dalam mengatasi tantangan pengurangan batubara secara bertahap, terutama di negara-negara berkembang.

Melalui kemitraan Mekanisme Transisi Energi dengan Bank Pembangunan Asia, Indonesia telah mengambil langkah proaktif untuk mengembangkan solusi keuangan guna mempercepat transisi energi global dari batubara.

Namun, kemitraan ini baru saja dimulai. Membuat langkah nyata untuk pelaksanaannya dapat membuka peluang bagi mitra G20 untuk meningkatkan mekanisme penghentian batubara pada konferensi G20 di Bali, serta inisiatif energi bersih untuk meningkatkan ketahanan energi.

Baru-baru ini, Kepala Badan Energi Internasional, Fatih Birol, menggambarkan tantangan untuk menghapuskan batubara secara bertahap, dan mendekarbonisasi sistem energi dunia sebagai “upaya skala Herkules”.

Namun, menjelang G20 tahun ini, kami percaya bahwa kekuatan Herkules saja tidak akan mampu mengatasi tantangan geopolitik yang kompleks ini. Sebaliknya, kearifan lokal dan perpaduan unik antara keterampilan, keberanian, dan kecerdasan yang ditunjukkan oleh Timun Mas saat dia menghadapi Buto Ijo mungkin bisa menjadi model untuk diikuti oleh para pemimpin Indonesia untuk merealisasikan Transisi Energi Berkelanjutan.

Materi Pendukung