Mengungkap tantangan emisi gas metana yang tersembunyi di Indonesia

Kurang tepatnya pelaporan emisi gas metana tambang batu bara di Indonesia berisiko melemahkan upaya pemerintah untuk memenuhi komitmen Indonesia terhadap Global Methane Pledge.

Dody Setiawan

Senior Analyst Climate and Energy, Indonesia

Ember

Chris Wright

Climate Strategy Advisor - Coal Mine Methane

Ember

11 March 2024| 15 menit baca

Tersedia dalam:   English

Sorotan

+12%


Pertumbuhan tahunan rata-rata emisi gas metana tambang batu bara antara tahun 2000 dan 2019

775 Mt


Produksi batu bara Indonesia tahun 2023

1007 kt


Estimasi emisi metana dari pertambangan batu bara Indonesia tahun 2024

Tentang Kami

Laporan ini meneliti tren dan sumber emisi gas metana tambang batu bara (CMM) di Indonesia. Metode estimasi CMM berdasarkan pedoman IPCC ditinjau dan dibandingkan dengan estimasi resmi CMM yang terkini. Estimasi independen juga digunakan sebagai perbandingan untuk menilai kemungkinan terjadinya pelaporan yang kurang sesuai. Kami juga merekomendasikan tindakan-tindakan yang dapat Indonesia lakukan untuk meningkatkan upaya pemantauan, pelaporan, dan verifikasi (MRV) gas metana tambang batu bara, sebagaimana disyaratkan oleh Global Methane Pledge (GMP).

Ringkasan eksekutif

Emisi pertambangan batu bara Indonesia lebih besar dari laporan resmi yang terkini

Indonesia berkesempatan untuk memperoleh manfaat dengan memantau emisi gas metana tambang batu bara secara ketat sebagai bagian dari komitmen untuk Global Methane Pledge, termasuk perbaikan keterbukaan informasi, pemahaman mendalam mengenai tantangan emisi metana, upaya mitigasi yang efektif, peningkatan keselamatan pekerja tambang, dan dukungan terhadap pengembang proyek.

Indonesia adalah produsen batu bara terbesar ketiga di dunia, setelah Tiongkok dan India. Dengan pecahnya rekor produksi selama dua tahun terakhir, sektor batu bara di Indonesia terus berkembang pesat. Akibatnya, emisi gas metana dari penambangan batu bara meningkat dan menjadi sub-kategori emisi dengan pertumbuhan tercepat di sektor energi.

Sebagai penanda tangan Global Methane Pledge (GMP), Indonesia berkomitmen untuk “mengambil tindakan yang komprehensif dalam negeri untuk mengurangi emisi metana global pada tahun 2030”. Namun, Indonesia belum memiliki rencana aksi komprehensif untuk mengatasi emisi metana. Selain itu, laporan emisi gas metana tambang batu bara Indonesia yang resmi masih kurang sesuai menurut berbagai studi independen.

Pelaporan emisi gas metana tambang batu bara di Indonesia (CMM) saat ini memiliki beberapa kelemahan berdasarkan analisis kami. Hal ini meliputi kurangnya transparansi data, penggunaan faktor emisi yang tidak akurat dan faktor konversi potensi pemanasan global akibat metana (Global Warming Potential/GWP) yang lama, dan tidak dihitungnya emisi dari tambang batu bara bawah tanah.

Meningkatkan sistem pemantauan, pelaporan, dan verifikasi (MRV) adalah langkah pertama yang penting untuk mengatasi masalah ini. Pelaporan emisi yang tidak akurat berisiko menyebabkan kesalahan alokasi sumber daya yang dimaksudkan untuk memitigasi emisi metana dan melemahkan integritas data emisi nasional serta kredibilitas komitmen internasional Indonesia. Untuk membiayai upaya peningkatan pengukuran metana tambang batu bara secara langsung, tersedia dukungan pendanaan internasional yang dapat dimanfaatkan Indonesia. Peluang ini bisa didapatkan dengan menerapkan sejumlah penyesuaian jangka pendek yang diuraikan dalam laporan ini, sebelum laporan dua tahunan Indonesia berikutnya ke United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).

  • 01


    Emisi CMM meningkat sebesar 12% per tahun

    Emisi metana tambang batu bara yang dilaporkan secara resmi–tidak termasuk emisi fugitif yang diabaikan–meningkat dari 16 kiloton metana (kt CH4) pada tahun 2000 menjadi 128 kt CH4 pada tahun 2019 karena meningkatnya produksi batu bara.

  • 02


    Emisi CMM yang dilaporkan enam hingga tujuh kali lebih rendah dari estimasi independen

    Emisi CMM yang dilaporkan pemerintah enam hingga tujuh kali lebih rendah dibandingkan dengan estimasi oleh berbagai penelitian independen. Hal ini menunjukan bahwa metodologi pelaporan saat ini belum sesuai dan estimasi emisi CMM yang berpotensi kurang tepat.

  • 03


    Tambang batu bara bawah tanah baru akan meningkatkan emisi CMM secara signifikan

    Dalam laporan resmi ke UNFCCC, pemerintah belum memperhitungkan emisi CMM dari beberapa tambang batu bara bawah tanah. Keberadaan tambang batu bara bawah tanah milik Qinfa yang baru saja diresmikan diperkirakan akan menambah sekitar 332 kiloton metana (ktCH4) ke atmosfer. Jika ditotal dengan angka resmi yang dilaporkan pada tahun 2019 (128 ktCH4), total emisi metana akan meningkat sebanyak tiga kali lipat.

  • 04


    Emisi CMM tahunan lebih besar dari emisi kebakaran hutan dan lahan pada tahun 2022

    Emisi CMM di Indonesia berpotensi mencapai 1007 kt CH4 per tahun, dengan mempertimbangkan penyesuaian metode perhitungan dan proyeksi kenaikan produksi batu bara. Jumlah ini setara dengan 30 juta ton karbon dioksida (tCO2) dan lebih besar dari emisi kebakaran hutan dan lahan sebesar 200 ribu hektar di Indonesia pada tahun 2022.

Penggunaan metode estimasi yang lama berisiko menutupi besaran masalah gas metana tambang batu bara yang sebenarnya di Indonesia. Karena Indonesia sudah berkomitmen untuk turut mengurangi gas metana secara global, kredibilitas Indonesia di kancah internasional akan dipertanyakan. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengakui keberadaan permasalahan ini dan memperbarui metode estimasi gas metana tambang batu bara Indonesia dalam laporan transparansi dua tahunan (BTR) ke UNFCCC mendatang. Hal ini akan membantu dalam merumuskan strategi mitigasi emisi metana dengan efektif.

Dody Setiawan Analis Senior Iklim dan Energi Indonesia, Ember

Sebagai produsen batu bara yang besar, peran aktif Indonesia dalam mengurangi emisi gas metana sangat krusial untuk menurunkan emisi global. Namun, kurangnya transparansi, serta sistem pengawasan, pelaporan, dan verifikasi (MRV) yang kuat menjadi tantangan bagi evaluasi terhadap aktivitas pertambangan yang efektif. Maka, untuk mencapai tujuan Global Methane Pledge, Indonesia perlu merencanakan upaya pengawasan emisi, dan memperbaiki aksesibilitas data pertambangan dan metana.

Dorothy Mei Manajer Proyek Global Coal Mine Tracker, Global Energy Monitor (GEM)

Indonesia adalah penandatangan Global Methane Pledge yang bertujuan untuk mengurangi emisi gas metana sebesar 30% pada tahun 2030. Hal yang menjadi perhatian adalah, emisi ini tidak diestimasikan secara tepat sebagai gas rumah kaca terbesar setelah karbon dioksida. Dengan demikian, laporan ini menjadi acuan penting dalam menganalisis tindakan yang dapat diambil oleh pemerintah dan pemangku kepentingan relevan lainnya untuk memitigasi perubahan iklim, khususnya terkait emisi gas metana.

Wira A. Swadana Manajer Program Ekonomi Hijau, Institute for Essential Services Reform (IESR)

Pendahuluan

Memahami tantangan gas metana di Indonesia

Metana adalah gas rumah kaca paling kuat kedua setelah karbon dioksida. Lebih dari 150 negara, termasuk Indonesia, telah berkomitmen untuk mengurangi emisi gas metana buatan manusia, termasuk yang berasal dari tambang batu bara. 

Metana adalah gas rumah kaca (GRK) yang kuat dan polutan iklim berumur pendek (short-lived climate pollutant atau SLCP) yang berkontribusi terhadap 30 persen pemanasan global sejak era pra-industri. Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) saat ini memperkirakan bahwa emisi gas metana sekitar 30 kali lipat lebih kuat dari karbon dioksida dalam memanaskan atmosfer. Hal ini dikenal sebagai potensi pemanasan global (Global Warming Potential atau GWP). Meskipun membandingkan berbagai gas rumah kaca secara langsung sulit dilakukan, estimasi di atas menunjukkan dampak signifikan dari emisi gas metana terhadap pemanasan global.

Metana diketahui berkontribusi terhadap meningkatnya ozon troposfer–yakni ozon yang ada di bagian bawah atmosfer bumi dan juga dikenal sebagai ozon permukaan–yang menyebabkan 1 juta kematian akibat penyakit terkait pernapasan secara global pada tahun 2010. Peningkatan ozon troposfer juga terkait dengan peningkatan suhu yang kemudian mengurangi produktivitas sektor pertanian di Asia. Sementara itu, kebocoran metana tambang batu bara bawah tanah dapat menyebabkan kecelakaan serius, sebagaimana yang terjadi di Turki dengan tewasnya 578 orang antara tahun 2010 dan 2017.

Komitmen global untuk mengatasi metana


Laporan Asesmen IPCC yang Keenam (Sixth Assessment Report) menunjukkan bahwa konsentrasi metana global pada tahun 2019 mencapai titik paling tinggi dibandingkan 800.000 tahun terakhir. Pemodelan menunjukkan bahwa pada tahun 2030, dunia harus mengurangi 34% emisi gas metana di bawah tingkat emisi tahun 2019 untuk membatasi pemanasan global pada 1,5°C. Khusus untuk bahan bakar fosil, pengurangan 75% emisi metana diperlukan pada tahun 2030 agar sejalan dengan skenario emisi nol bersih IEA pada tahun 2050.

Global Methane Pledge (GMP), yang diinisiasi pada COP26, bertujuan untuk memangkas emisi gas metana sebesar 30% dari tingkat emisi tahun 2020, pada tahun 2030. Negara-negara yang berpartisipasi diharapkan dapat meningkatkan metodologi inventarisasi GRK, meningkatkan transparansi, dan mempertahankan kebijakan dan komitmen terkini. Mereka juga perlu melakukan aksi nyata untuk mencapai target GMP dengan mengurangi emisi metana di sektor energi dan limbah, serta menerapkan strategi mitigasi di sektor pertanian.

Posisi Indonesia terkait gas metana


Sebagai penanda tangan GMP dan salah satu dari enam penghasil gas metana terbesar, Indonesia diharapkan dapat mengembangkan rencana aksi pengurangan metana yang komprehensif seperti negara-negara lainnya. Namun, dalam Kontribusi yang Ditetapkan secara Nasional yang Ditingkatkan (Enhanced NDC), Indonesia hanya menguraikan rencana mitigasi untuk sektor limbah.

Di sisi lain, mitigasi terhadap gas metana dari bahan bakar fosil hampir tidak dapat ditemukan dalam dokumen resmi yang diserahkan kepada UNFCCC. Hal ini kemudian perlu menjadi perhatian karena besarnya kesenjangan data antara laporan inventarisasi GRK yang diserahkan ke UNFCCC dan emisi metana secara aktual dari bahan bakar fosil.

Metana tambang batu bara (CMM)


Metana tambang batu bara (coal mine methane atau CMM) adalah istilah umum untuk semua jenis gas metana yang keluar selama operasi pertambangan dan pasca-pertambangan. Di Indonesia, istilah Coal Bed Methane (CBM) lebih sering digunakan untuk merujuk pada semua jenis gas metana yang diekstraksi dari lapisan batu bara di kerak bumi sebelum kegiatan penambangan dan merupakan sumber bahan bakar non-konvensional yang diakui oleh pemerintah untuk meningkatkan pasokan energi.

 

Emisi gas metana dari penambangan batu bara bergantung pada beberapa faktor, tetapi tambang batu bara bawah tanah biasanya menghasilkan lebih banyak gas metana dibandingkan tambang terbuka (surface mines) karena lapisan batu bara yang lebih dalam dan peringkat kualitas batu bara (coal rank) yang lebih tinggi. Di tambang bawah tanah, emisi gas metana berasal dari degasifikasi dan sistem ventilasi, sedangkan di tambang terbuka, emisi gas metana dihasilkan pada area permukaan selama ekstraksi batu bara.

Sektor energi mewakili hampir 40% emisi metana antropogenik (buatan manusia) dan pertambangan batu bara mewakili sepertiga dari emisi tersebut. Di antara emisi gas metana dari tambang batu bara, estimasi saat ini menunjukkan bahwa 84% emisi CMM global berasal dari pertambangan bawah tanah. Seiring dengan kemajuan teknik pengukuran melalui satelit, berbagai ilmuwan internasional kini mempertanyakan apakah besaran emisi gas metana dari tambang batu bara terbuka lebih banyak dibandingkan dengan pelaporan terdahulu.

Emisi CMM di Indonesia

Emisi gas metana dari perluasan operasi tambang batu bara masih kurang diperhatikan

Metana dari tambang batu bara adalah sumber emisi di sektor energi Indonesia yang meningkat paling cepat. Namun, laporan emisi CMM Indonesia lebih berpotensi rendah hingga delapan kali lipat dari seharusnya.

Indonesia adalah eksportir batu bara termal terbesar di dunia secara volume, dan penghasil batu bara terbesar ketiga setelah Tiongkok dan India. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengklaim bahwa produksi batu bara mencapai titik tertinggi pada tahun 2023 (+13% dari tahun 2022).

Sebanyak 80% dari produksi batu bara Indonesia terdiri dari batu bara berkualitas rendah seperti lignite dan subbituminous. Cadangan batu bara dengan tingkat kualitas rendah ini tersebar di tujuh cekungan batu bara utama di Indonesia, terutama di Sumatera Tengah dan Sumatera Selatan, serta di Kalimantan, yang mencakup cekungan Barito-Warukin, Kutai, dan Tarakan. Sementara itu, batu bara berkualitas sedang dan tinggi banyak ditemukan di cekungan Barito di Kalimantan Selatan dan cekungan Ombilin di Sumatera Barat.

Jenis-jenis batu bara dan pengaruhnya terhadap emisi metana

Batu bara diklasifikasikan menjadi empat jenis berdasarkan kualitas kandungan energinya, yang diukur dalam nilai kalori. Jenis-jenis tersebut adalah anthracite, bituminous, subbituminous, dan lignite. Anthracite, dengan kandungan energi tertinggi biasa digunakan dalam industri logam. Kemudian, batu bara bituminous, dengan nilai kalori antara 5.833 dan 7.777 kilokalori per kilogram (kkal/kg), umumnya digunakan untuk pembangkit listrik dan pembuatan baja. Batu bara subbituminous, dengan kandungan energi berkisar antara 4.611 dan 5.833 kkal/kg, sering digunakan dalam pembangkit listrik tenaga uap. Sedangkan, lignit memiliki kandungan energi terendah dengan nilai kalori di bawah 4.811 kkal/kg.

Jenis batu bara berpengaruh secara signifikan terhadap emisi gas metana yang dihasilkan selama proses penambangan. Batu bara dengan peringkat lebih tinggi, seperti bituminous dan anthracite, umumnya lebih padat dan mengandung lebih sedikit uap air, yang menyebabkan emisi metana yang lebih tinggi ketika diekstraksi. Batu bara ini biasanya ditemukan di lapisan tambang yang lebih dalam dan menyimpan banyak metana. Sebaliknya, batu bara dengan tingkat kualitas lebih rendah seperti lignite dan subbituminous memiliki kadar air yang lebih tinggi, sehingga menghasilkan emisi metana yang lebih rendah.

Meskipun batu bara di Indonesia sebagian besar diekstraksi menggunakan metode penambangan terbuka atau permukaan, ada beberapa perusahaan yang mengoperasikan pertambangan bawah tanah di Sumatera Barat, Bengkulu, dan Kalimantan Selatan. Perusahaan-perusahaan ini biasanya menghasilkan batu bara bituminous dengan nilai kalori di atas 6.800 kkal/kg.

Emisi CMM di Indonesia terus meningkat


Indonesia melaporkan 128 kt CH4 dari tambang batu bara permukaan, yang termasuk dalam kategori emisi fugitif dari bahan bakar fosil padat (1B1) menurut acuan inventarisasi GRK UNFCCC. Emisi fugitif mengacu pada pelepasan gas yang tidak disengaja, seperti metana, selama kegiatan penambangan. Estimasi metana tambang batu bara permukaan yang dilaporkan relatif kecil dibandingkan dengan emisi fugitif dari sub-sektor minyak dan gas sebesar 554 kt CH4.  

Namun, emisi CMM yang dilaporkan telah meningkat dengan cepat. Sejak tahun 2000, emisi CMM secara rata-rata telah meningkat sebesar 12% per tahun, sehingga menjadikannya sumber emisi dengan pertumbuhan tercepat di sektor energi. Meskipun saat ini emisi CMM masih tergolong kecil di sektor energi, seiring dengan penurunan emisi fugitif dari sub-sektor minyak dan gas, CMM diperkirakan akan menjadi penghasil metana utama di sektor energi bahkan dengan estimasi saat ini yang masih berlaku.

Estimasi emisi CMM lebih tinggi dari yang dilaporkan menurut studi independen


Emisi CMM Indonesia mencapai tujuh kali lipat lebih tinggi dibandingkan laporan resmi terkini, berdasarkan estimasi independen yang menggunakan data satelit dan tambang. Menurut estimasi data satelit, emisi CMM Indonesia berpotensi mencapai 750 kt CH4 atau sekitar enam kali lipat lebih besar dari estimasi resmi pemerintah (128 kt CH4). Sedangkan, estimasi data tambang menunjukkan emisi CMM yang mencapai tujuh kali lebih tinggi dari jumlah yang dilaporkan, dengan total emisi sebesar 875 kt CH4.

Keberadaan estimasi lain dari berbagai studi independen menjadi landasan ilmiah untuk membantu negara-negara meningkatkan estimasi emisi mereka agar dapat mengambil tindakan iklim yang lebih efektif. Misalnya, Australia meningkatkan faktor emisi metana untuk tambang batu bara terbuka di Queensland setelah adanya asesmen dari studi independen. Demikian pula, Indonesia dapat merujuk pada temuan independen sebelumnya untuk meningkatkan faktor emisi yang spesifik (country-specific emissions factors) untuk emisi gas metana. Hal ini akan memfasilitasi Indonesia untuk mengidentifikasi wilayah dan tambang batu bara yang bertanggung jawab menghasilkan emisi CMM terbanyak serta memudahkan upaya mitigasi yang lebih terfokuskan.

Pelaporan CMM yang belum sesuai

Mengapa pemerintah perlu mengukur kembali estimasi CMM

Estimasi resmi terkini memiliki asumsi dan pemilahan data yang belum sesuai, sehingga berpotensi menimbulkan ketidakpastian. Analisis kami menunjukkan bahwa emisi CMM Indonesia terkini setara dengan total emisi kebakaran hutan dan lahan di Indonesia pada tahun 2022.

Kami menemukan bahwa estimasi emisi CMM Indonesia saat ini belum diperinci dengan jelas. Secara spesifik, estimasi saat ini belum memiliki penjelasan mengenai asumsi yang digunakan yang memisahkan data aktivitas tambang terbuka dan bawah tanah serta faktor emisi yang digunakan.

Secara keseluruhan, ada sejumlah faktor yang menyebabkan estimasi CMM Indonesia terlalu rendah. Hal ini mencakup penggunaan faktor emisi yang kurang sesuai, referensi GWP yang lama, dan pengecualian tambang batu bara bawah tanah. Analisis kami menemukan faktor-faktor ini melalui serangkaian kalkulasi untuk menentukan faktor emisi dan asumsi tentang emisi CMM masa depan.

Estimasi resmi menggunakan faktor emisi yang kurang sesuai dan metode perhitungan yang lama


Saat ini, Indonesia mengestimasi emisi CMM pada tambang terbuka menggunakan metode Tier 1 dari IPCC. Metode sederhana ini mengestimasi emisi CMM menggunakan faktor referensi emisi, yaitu faktor pengkali yang digunakan untuk memperkirakan jumlah gas metana yang dihasilkan untuk setiap ton batu bara yang diekstraksi atau diproduksi. Indonesia menggunakan faktor emisi rendah 0,3 m3 CH4/t (meter kubik metana per ton batu bara), meskipun IPCC merekomendasikan bahwa faktor ini hanya digunakan ketika kedalaman lapisan batuan penutup tambang batu bara kurang dari 25 m. Tambang batu bara di Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan, misalnya, memiliki kedalaman lapisan batuan penutup yang lebih dalam, masing-masing 30 m dan 60 m. Sementara analisis Kaltim Prima Coal menunjukkan kedalaman lapisan batuan penutup antara 27 hingga 64 m.

Oleh karena itu, emisi CMM Indonesia dari tambang batu bara permukaan akan meningkat empat kali lipat jika faktor emisi disesuaikan ke tingkat rata-rata atas yang direkomendasikan oleh IPCC (1,2 m3 CH4/t). Namun, mengingat produksi batu bara Indonesia yang signifikan, IPCC juga menyarankan untuk mengelompokkan data aktivitas dan faktor emisi pada tingkat daerah atau cekungan tertentu yang kaya akan batu bara. Secara khusus, hal ini melibatkan analisis produksi batu bara dan faktor emisi metana untuk setiap daerah atau cekungan secara terpisah, dengan mempertimbangkan karakteristik unik batu bara, praktik penambangan, dan kondisi geologi yang ada di daerah tersebut. Pendekatan ini memberikan estimasi emisi metana yang lebih baik dari setiap wilayah, sehingga memungkinkan estimasi yang lebih akurat dan penargetan upaya mitigasi yang lebih sesuai.

Selain itu, Indonesia juga masih menggunakan faktor GWP metana sebesar 21 kali lipat yang diambil dari laporan kedua IPCC yang diterbitkan pada tahun 1996. Padahal, laporan IPCC terbaru menunjukkan bahwa GWP metana adalah sekitar 30 kali lipat dari karbon dioksida. Hal ini menunjukan bahwa gas metana dianggap 40% lebih berbahaya bagi iklim kita dibandingkan perkiraan sebelumnya dan tindakan mendesak untuk mengatasinya semakin diperlukan.

Emisi tambang batu bara bawah tanah tidak dihitung


Saat ini terdapat 15 perusahaan yang memiliki aktivitas penambangan batu bara bawah tanah di Indonesia. Namun, laporan dua tahunan Indonesia kepada UNFCCC pada tahun 2021 menyatakan sebaliknya. Tambang bawah tanah milik Qinfa yang baru saja diresmikan di Kotabaru, Kalimantan Selatan saja diproyeksikan akan menambahkan setidaknya 332 kt CH4, yang jika dijumlah dengan emisi CMM resmi yang dilaporkan pada tahun 2019, total emisi metana akan meningkat sebanyak tiga kali lipat. Perkembangan ini, ditambah dengan laporan kecelakaan pertambangan batu bara bawah tanah–seperti yang terjadi di Sawahlunto, Sumatera Barat, yang mengakibatkan hilangnya 50 jiwa–menyoroti kurangnya pengawasan dalam mengatasi emisi metana dari tambang batu bara bawah tanah, termasuk tambang yang telah ditinggalkan.

Tidak diragukan lagi, tambang batu bara bawah tanah tidak hanya meningkatkan emisi metana, tetapi juga menimbulkan risiko keamanan yang serius bagi pekerja tambang. Menanggapi hal tersebut, pemerintah mengeluarkan Keputusan Menteri tentang praktik pertambangan yang baik pada tahun 2018. Keputusan tersebut mengatur aspek keselamatan tambang bawah tanah seperti drainase metana, ventilasi udara metana, dan perangkat pemantauan. Penerapan praktik-praktik baik tersebut bersama dengan pemantauan ketat terhadap emisi metana dari penambangan bawah tanah dapat membantu mengurangi dampak lingkungan dari tambang batu bara sekaligus memastikan keselamatan para pekerja tambang.

Emisi CMM Indonesia lebih besar dari seluruh emisi kebakaran hutan dan lahan di Indonesia pada tahun 2022


Emisi gas metana dari tambang batu bara terbuka dapat mencapai 675 kt CH4 bila menggunakan faktor emisi CMM yang direvisi dengan data produksi batu bara terbaru. Dengan penambahan tambang batu bara bawah tanah baru milik Qinfa, emisi CMM di Indonesia diproyeksikan mencapai sekitar 1007 kt CH4, yang lebih tinggi dari estimasi GEM pada tahun 2022. Dibandingkan dengan emisi fugitif yang dilaporkan dari sub-sektor minyak dan gas pada tahun 2019, estimasi ini akan membuat emisi fugitif tambang batu bara menjadi penghasil metana utama di sektor energi.

Dengan kata lain, emisi CMM diestimasikan mencapai 30 juta ton dalam ekuivalen karbon dioksida (tCO2e) setiap tahunnya, jika menggunakan faktor konversi 100 tahun terbaru untuk GWP gas metana sebagai bahan bakar fosil. Angka ini sepuluh kali lipat lebih besar dari estimasi resmi emisi gas metana tambang batu bara yang dikonversi ke ekuivalen CO2 pada tahun 2019 (2,7 juta tCO2e), dan lebih besar dibandingkan emisi dari kebakaran hutan dan lahan seluas lebih dari 200 ribu hektar (Ha) pada tahun 2022 (23,5 juta tCO2e).

Rekomendasi kebijakan

Tersedia langkah-langkah praktis untuk memperbaiki pelaporan emisi CMM

Indonesia dapat lebih memahami tantangan yang dihadapi terkait emisi gas metana dengan peningkatan pelaporan, pemantauan, dan verifikasi (MRV) emisi, sehingga upaya mitigasi yang lebih efektif bisa diterapkan. Hal ini juga akan meningkatkan kredibilitas dan mengundang dukungan internasional untuk aksi iklim.

Sebagai bagian dari komitmennya terhadap GMP, Indonesia perlu menetapkan kerangka MRV untuk melacak progresnya menuju target pengurangan emisi gas metana pada tahun 2030. Profil emisi dasar yang tidak sesuai akan berdampak pada tindakan mitigasi yang kurang efektif dan tidak diambilnya langkah yang seharusnya dibutuhkan sesuai dengan skenario jalur GMP dan 1,5°C.

Peningkatan pemantauan emisi metana, terutama di pertambangan bawah tanah, juga penting untuk memastikan keselamatan pekerja tambang dan meminimalkan gangguan operasional. Selain itu, hal ini dapat mendukung pengembang proyek dalam merancang studi dasar tentang kandungan gas dan proyek mitigasi CMM dengan tepat.

Komisi Ekonomi PBB untuk Eropa (UNECE) telah menerbitkan panduan praktik terbaik untuk sistem MRV metana tambang batu bara dan kasus bisnis untuk mitigasinya. Sumber referensi ini dapat dimanfaatkan oleh pemerintah Indonesia untuk merancang kerangka MRV khusus untuk Indonesia. Melalui inisiatif tersebut, Indonesia berpotensi menarik minat yang cukup besar dari mitra internasional.

Tiga aksi yang dapat Indonesia lakukan untuk meningkatkan MRV emisi CMM


Menerapkan pemilahan data

Pemilahan data sangat penting untuk implementasi MRV yang efektif. Saat ini, pemerintah menggunakan data batu bara curah yang diasumsikan dari tambang terbuka dan menerapkan faktor emisi untuk memperkirakan polusi metana tambang batu bara. Dengan memilah data, maka analisis emisi metana dilakukan di tingkat tambang dan dipisahkan antara tambang terbuka dengan bawah tanah. Hal ini akan meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam perhitungan emisi, memungkinkan pembuat kebijakan untuk membedakan sumber emisi, mengidentifikasi sektor-sektor yang paling berkontribusi, dan memprioritaskan tindakan mitigasi yang sesuai.

Mengingat pentingnya peran batu bara di Indonesia dan kesenjangan data yang signifikan sebagaimana ditunjukan oleh studi independen, pemilahan data sangat penting untuk menyempurnakan estimasi emisi CMM. Pendekatan ini akan mengurangi ketidakpastian dan menegaskan komitmen Indonesia terhadap GMP serta memungkinkan pemantauan yang tepat terhadap proyek-proyek berisiko tinggi seperti tambang bawah tanah.

Selain itu, pengumpulan dan analisis data pada tingkat tambang secara individu, baik untuk tambang terbuka maupun bawah tanah sangat esensial untuk memungkinkan pemrosesan data lebih lanjut. Hal ini akan menyederhanakan proses verifikasi dan meminimalkan kemungkinan pelaporan yang tidak sesuai. 

Badan Perlindungan Lingkungan AS (EPA) telah memberikan pedoman untuk menghitung emisi metana di tingkat tambang. Selain itu, AS dan Australia telah mewajibkan semua tambang batu bara bawah tanah yang memiliki emisi signifikan (melebihi 25.000 tCO2e per tahun di AS) untuk melaporkan emisi GRK lingkup 1 (scope 1) mereka.

Menggunakan metode pengukuran IPCC yang lebih tinggi

Indonesia saat ini memakai metode Tier 1 IPCC untuk memperkirakan emisi dari sektor energi, termasuk CMM, dengan menggunakan faktor referensi emisi. Indonesia berencana menggunakan metode Tier 2 dengan mengembangkan faktor emisi spesifik negara untuk emisi metana di sektor energi. Meskipun ini adalah metode yang paling umum untuk memperkirakan emisi CMM tambang terbuka, pemerintah juga dapat mempertimbangkan penggunaan metode Tier 3 dengan secara langsung mengukur emisi CMM pada level tambang di pertambangan bawah tanah.

Hal ini mengikuti negara-negara penghasil batu bara utama lain, seperti Amerika Serikat, Australia, Rusia, Tiongkok, dan India, yang telah menggunakan kombinasi antara metode Tier 2 dan Tier 3 untuk mengestimasi emisi CMM mereka.

Pengukuran lebih lanjut juga harus dilakukan untuk mengembangkan faktor emisi pada tingkat cekungan atau daerah untuk menangkap berbagai karakteristik dari cekungan batu bara. Sebagai contoh, Amerika Serikat merevisi faktor emisi metana mereka setelah mengukur langsung 14 cekungan batu bara.

Meningkatkan pelaporan

MRV perlu dilakukan pada tingkat tambang untuk meningkatkan transparansi dan memenuhi tuntutan pemangku kepentingan akan keterbukaan informasi kepada publik. Setiap perusahaan batu bara dengan izin usaha pertambangan operasi produksi (IUP OP) perlu melaporkan emisi GRK dari operasi pertambangan di tingkat tambang, termasuk CMM.

Pendekatan untuk memperkirakan GRK, baik melalui faktor emisi atau pengukuran langsung, harus memprioritaskan transparansi. Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM memiliki contoh yang baik tentang bagaimana APPLE Gatrik digunakan untuk melacak emisi dari setiap pembangkit listrik di seluruh negeri. Selain itu, EPA dan National Greenhouse and Energy Reporting memberikan contoh lain tentang bagaimana data emisi tersebut juga tersedia untuk pengawasan publik.

Mengingat bahwa banyak perusahaan pertambangan batu bara besar yang terdaftar di bursa efek, emisi metana dari pertambangan batu bara juga harus dimasukkan ke dalam laporan keberlanjutan mereka. Oleh karena itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dapat memperbarui pedoman pelaporan keberlanjutannya agar selaras dengan Global Reporting Initiative (GRI) 305, yang mencakup emisi fugitif dari sektor energi. Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia juga telah mengembangkan pedoman penyusunan laporan keberlanjutan sesuai dengan standar OJK, CDP dan GRI.

Materi Pendukung



Metodologi

Penafian

Kami telah mengidentifikasi berbagai contoh di mana jumlah emisi atau estimasi yang dilaporkan dapat secara signifikan lebih rendah dari jumlah metana yang dihasilkan secara riil. Patut digarisbawahi bahwa informasi ini dimaksudkan untuk tujuan memberikan pengetahuan atau mengedukasi dan tidak boleh ditafsirkan sebagai nasihat keuangan, hukum, atau profesional lainnya.

Data yang disajikan dalam laporan ini didasarkan pada materi yang diuraikan pada bagian setelah ini. Meskipun temuan-temuan tersebut diperoleh dari analisis materi ini, kami tidak dapat menjamin kelengkapan, keakuratan, atau keandalan pernyataan atau representasi yang timbul darinya. Pusat Data dan Informasi Kementerian ESDM telah dihubungi untuk memberikan komentar sebelum laporan ini dipublikasi.

Metodologi

Ember melakukan perhitungan terbalik untuk mengidentifikasi faktor emisi metana dengan membandingkan emisi CMM dalam Third Biennial Update Report (BUR) dengan data produksi batu bara dari Handbook of Energy and Economic Statistics of Indonesia (HEESI). Metode perhitungan dan faktor konversi mengikuti pedoman IPCC terbaru tentang emisi fugitif. 

Memperkirakan emisi CMM pada tahun 2024 melibatkan perhitungan emisi permukaan dan bawah tanah. Untuk emisi CMM permukaan, kami menggunakan faktor emisi rata-rata IPCC (1,2 m3/t untuk penambangan dan 0,1 m3/t untuk pascapenambangan). Data produksi batu bara dikumpulkan dari HEESI dan siaran pers dari Kementerian ESDM. Produksi batu bara untuk tambang permukaan pada tahun 2024 diasumsikan sama dengan tahun 2023.

Emisi CMM dari dua tambang batu bara bawah tanah milik Qinfa diperkirakan menggunakan faktor emisi rata-rata IPCC (18 m3/t untuk pertambangan dan 2,5 m3/t untuk pascapertambangan) untuk tambang SDE-1 dengan kedalaman tambang 180 – 410m dan faktor emisi tinggi (25 m3/t untuk pertambangan dan 4 m3/t untuk pascapertambangan) untuk SDE-2 dengan kedalaman tambang 440 – 650m. Emisi CMM dari tambang bawah tanah yang ada tidak diperkirakan dalam studi ini karena tidak tersedianya data.

Kami menggunakan Global Warming Potential (GWP) terbaru dari Laporan Asesmen Keenam, yang menetapkan GWP metana bahan bakar fosil sebesar 29,8. Emisi dari kebakaran hutan dan lahan pada tahun 2022 bersumber dari laporan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

We used the latest Global Warming Potential (GWP) from the Sixth Assessment Report, setting the fossil-fuel methane GWP at 29.8. Emissions from forest and land fires in 2022 were sourced from a report by the Ministry of Environment and Forestry (MoEF).

Pedoman IPCC untuk pendekatan tingkat pengukuran (tier approaches)

Ada tiga metode tingkatan untuk memperkirakan emisi gas rumah kaca yang ditentukan dalam pedoman IPCC. Pendekatan Tier 1 adalah pendekatan paling dasar yang memperkirakan emisi gas metana dengan menerapkan data produksi batu bara curah dengan faktor emisi global. Metode sederhana ini memiliki tingkat ketidakpastian tertinggi. Kemudian, pendekatan Tier 2 menggunakan faktor emisi spesifik cekungan atau negara yang mewakili rata-rata emisi metana di masing-masing wilayah. Terakhir, pendekatan Tier 3 menggunakan pengukuran langsung di tingkat fasilitas atau tambang, sehingga menjadi metode yang paling akurat dan sebaiknya diterapkan pada tambang batu bara yang mengandung gas.

Estimasi metana tambang batu bara menggunakan data satelit

Studi yang dilakukan oleh Shen et al menggunakan pendekatan top-down yang menggabungkan pengukuran satelit selama 18 bulan dari data satelit TROPOMI (TROPOspheric Monitoring Instrument) untuk menyesuaikan model inventarisasi GRK, termasuk Global Fuel Exploitation Inventory (GFEI) v1 dan v2, serta Emissions Database for Global Atmospheric Research (EDGAR) v6.

Estimasi metana tambang batu bara dari Global Energy Monitor

Global Energy Monitor (GEM) telah mengembangkan pelacak tambang batu bara untuk memantau lebih dari 4.000 tambang batu bara di seluruh dunia, yang mencakup berbagai status operasional, termasuk lebih dari 400 tambang aktif di Indonesia. Emisi metana tahunan diperkirakan di tingkat tambang dengan menggunakan produksi batu bara tahunan, kandungan metana, dan koefisien faktor emisi. Kandungan gas metana diperkirakan menggunakan model MC2M, yang mengikuti isoterm Langmuir untuk peringkat batu bara yang sesuai (subbituminous, bituminous, dan anthracite) dan pada kedalaman penambangan. Terakhir, koefisien faktor emisi diterapkan untuk memperkirakan emisi metana.