Dapatkah Indonesia wujudkan listrik nol bersih pada 2040?

Dan mengapa Indonesia perlu melakukannya?

Dr Achmed Shahram Edianto

Asia Electricity Analyst

19 September 2022 | 3 menit baca

Tersedia dalam:   English


Pada hari Jumat, 2 September 2022, IEA merilis laporan yang sangat ditunggu-tunggu, yaitu “Peta Jalan Menuju Emisi Nol Bersih pada Sektor Energi di Indonesia”. Laporan ini mendorong kami untuk meneliti apa saja yang mungkin dilakukan di Indonesia, agar konsisten dengan jalur 1,5 derajat, sesuai model global yang diusung IEA dalam laporan penting tahun 2021, “Nol Bersih pada 2050”.

Komentar kami ini menguraikan beberapa sorotan utama dari analisis IEA, untuk menunjukkan mengapa Indonesia harus dengan bangga dan cepat menetapkan transisi ketenagalistrikan sesegera mungkin, untuk mewujudkan emisi nol bersih di sektor ketenagalistrikan pada tahun 2040 untuk mempercepat emisi nol bersih di semua sektor pada 2050, satu dekade lebih cepat dari target pemerintah. Mempercepat transisi membawa lebih banyak manfaat bagi negara, mulai dari keamanan energi hingga peluang kerja baru.

Energi terbarukan, terutama tenaga surya dan angin, memecahkan rekor di seluruh dunia dan memberikan pembelajaran yang tersedia secara luas untuk membentuk kembali sistem energi yang sudah ada. Indonesia sesungguhnya bisa melakukan dekarbonisasi pada 2040 dan menyediakan pasokan energi yang berkelanjutan, terjangkau, dan aman. Hanya perlu integrasi antara visi pemerintah, komitmen politik, dan implementasinya.

Dr Achmed Shahram Edianto Analis Ketenagalistrikan Asia

Semua tergantung listrik


Skenario IEA 2050 menunjukkan bahwa sejauh ini pengurangan emisi terbesar dan tercepat berasal dari sektor ketenagalistrikan. Skenario tersebut memperlihatkan peralihan dari sektor penghasil emisi terbesar pada tahun 2020 menjadi sektor pertama yang mencapai nol bersih, pada tahun 2040. Emisi CO2 dari sektor ketenagalistrikan diperkirakan tumbuh sekitar dua kali lipat dan mencapai puncaknya pada tahun 2020, dibandingkan tahun 2010.

Artinya, tidak ada lagi batubara pada tahun 2040


Sampai saat ini, Indonesia adalah negara penghasil batubara terbesar di ASEAN, dan termasuk dalam 10 besar dunia. IEA menunjukkan bahwa jalur “nol bersih pada 2050” berarti PLTU yang tidak menggunakan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (unabated coal) harus dihentikan secara bertahap hingga paling lambat tahun 2040. Upaya ini harus dimulai dalam dekade ini. Penting untuk dicatat bahwa unabated coal juga harus turun drastis mulai tahun 2020-an. Laporan tersebut menyoroti bahwa dalam skenario NZE 2050, tenaga listrik berbasis batubara yang dihasilkan oleh PLTU akan berkurang sebanyak 70% pada 2030, karena meningkatnya fleksibilitas PLTU yang berpotensi mengurangi waktu operasional PLTU di Indonesia.

Artinya, perlu lebih banyak investasi hijau


Untuk mempercepat transisi di sektor ketenagalistrikan, investasi tahunan sektor ini harus meningkat tiga kali lipat dalam dekade ini hingga mencapai hampir 40 miliar dolar, dan delapan kali lipat pada dekade berikutnya menjadi sekitar 80 miliar dolar, dibandingkan angka investasi tahun 2010-an. Sekitar 50% dari investasi tersebut harus dialokasikan untuk pengembangan energi terbarukan.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Indonesia telah menargetkan investasi energi terbarukan sekitar USD 36 miliar, atau USD 7 miliar per tahun hingga 2025. Jumlah ini belum mencukupi dan perlu ditingkatkan menjadi USD 20 miliar per tahun hingga 2030. Selain itu, sebagian besar dari investasi ini perlu dialokasikan secara khusus untuk pengembangan tenaga surya dan bayu (angin), diikuti oleh investasi terhadap teknologi jaringan (grid) yang fleksibel, , untuk mengakomodasi penetrasi energi terbarukan yang tinggi di seluruh negeri.

Investasi tahunan rata-rata di sektor ketenagalistrikan Indonesia berdasarkan jenisnya dalam Skenario Emisi Nol Bersih pada 2050

Biaya sistem energi yang lebih murah


Karena besarnya investasi yang dibutuhkan dalam skenario emisi nol bersih 2050, biaya rata-rata sistem energi akan sedikit lebih tinggi dalam jangka pendek dibandingkan dengan dua skenario lainnya, tetapi memberikan “pembayaran imbal hasil dalam jangka panjang” dalam bentuk tagihan biaya bahan bakar yang lebih rendah.

Biaya rata-rata sistem energi tahunan di Indonesia dalam tiga skenario, 2016-2050 (Catatan: STEPS = Stated Policies Scenario; NZE = Net Zero Emissions by 2050 Scenario; APS = Announced Pledges Scenario)

Lebih banyak lapangan kerja di sektor energi


Sekitar 500.000 lapangan kerja baru akan tersedia di sektor energi, sebagian besar di sektor ketenagalistrikan. Pada saat yang sama, transisi energi akan berdampak pada hilangnya 230.000 pekerjaan, sebagian besar pada industri batubara. Meskipun jumlah bersih lapangan kerja baru di sektor energi mencapai 265.000 pekerjaan, kebijakan transisi energi harus diterapkan untuk memastikan transisi tersebut inklusif secara sosial dan dapat mendukung pekerjaan yang berisiko akibat proses transisi, terutama di daerah penghasil batubara.

Tentu saja secara teknis dapat dilakukan


Dengan sumber energi terbarukan yang melimpah, transisi ke energi terbarukan secara teknis dapat dilakukan di Indonesia. Indonesia memiliki potensi teknis yang tinggi untuk tenaga surya dan angin dalam skala besar, masing-masing sekitar 1.462 GW dan 500 GW. Namun pengoperasian sistem ketenagalistrikan saat ini, di bawah PLN, menghambat kemampuan sistem tersebut untuk beradaptasi dengan penetrasi tinggi energi terbarukan variabel seperti tenaga surya dan angin. Alasan utamanya adalah klausul “take or pay” minimum, di bawah Power Purchase Agreements (PPA), yang seringkali menggantikan pembangkit listrik terbarukan. Di saat yang sama, pembangkit batubara tidak dirancang untuk beradaptasi dengan penetrasi tinggi energi terbarukan variabel seperti tenaga surya dan angin. Indonesia harus belajar dari negara lain yang sudah lebih dulu menggeser peran batubara menjadi lebih fleksibel dalam sistemnya.

Tantangan lainnya adalah ketidaksesuaian antara sumber energi terbarukan dan pusat permintaan. Konektivitas antar wilayah yang dapat menghubungkan pulau-pulau utama akan menjadi kunci untuk mengatasi tantangan tersebut.

Semua ini dimungkinkan dan diharapkan, hanya perlu ambisi politik untuk melaksanakannya


Hanya dua minggu setelah laporan IEA diluncurkan, Pemerintah Indonesia mengeluarkan Peraturan Presiden No. 112/2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik untuk menarik lebih banyak investasi energi terbarukan dan mencapai target energi nasional. Perpres tersebut memberikan mekanisme baru untuk menentukan tarif energi terbarukan, dan merupakan peraturan formal pertama untuk pensiun dini batubara di Indonesia.

Ini adalah awal baru yang menggembirakan dan menunjukkan tanda-tanda awal ambisi politik untuk mewujudkan manfaat dekarbonisasi sistem ketenagalistrikan di Indonesia, sejalan dengan laporan IEA. Baik Perpres maupun skenario IEA memperlihatkan masa depan yang menjanjikan. Integrasi antara visi pemerintah, komitmen politik, dan implementasinya, menjadi sangat penting untuk mencapai emisi nol bersih di sektor ketenagalistrikan pada 2040. Keberhasilan sektor-sektor lainnya untuk mencapai emisi nol bersih pada 2050 kemungkinan besar akan bergantung pada ketersediaan listrik yang sudah bebas emisi.

Materi Pendukung